Bersama Mgr Hilarius Moa Nurak, arungi lautan kepulauan Riau (Ag. Suprimanto) |
“Blusukan, ya harus berani boros
waktu,”
kata Uskup Pang kalpinang, Mgr
Hilarius Moa Nurak SVD, saat mengarungi lautan menuju Pulau Ujungbeting,
Lingga, Ke pulauan Riau. Lautan adalah medan yang harus dilalui, karena umat
tersebar di pulau-pulau.
AGSUPRIMANTO.COM - Akhir tahun 2013, saya mendapat kesempatan untuk melakukan perjalanan bersama Mgr Hilarius. Perjalanan laut, darat, dan udara dimulai pada Sabtu, 21/12, hingga Kamis, 26/12. Pulau Ujungbeting adalah tujuan utama, dan di tempuh dalam waktu dua hari ini, dengan transit di Batam dan Tanjungpinang. Ujungbeting merupakan Pusat Paroki St Carolus Borromeus, yang wi layahnya mencakup beberapa pulau di sekitarnya.
Mgr Hilarius mengawali perjalanan
dari Pangkalpinang menuju Batam dengan menggunakan pesawat terbang. Di Bandara
Hang Nadim Batam, saya bersama Pastor Rekan Paroki Maria Bunda Pembantu Abadi
Tembesi-Batam RD Fransiskus Paskalis Maing, menunggunya. Ia muncul dengan
pakaian biasa, berkacamata, berpeci, menggendong ransel, dan menenteng koper.
Begitu gaya khas Mgr Hilarius saat melakukan perjalanan. Hari itu, kami
menginap di rumah Kevikepan di Tembesi. Vikaris Episkopalis Kepulauan Riau RD
Lucius Poya Hobamayan, juga Pastor Paroki Tembesi, mengatakan, “Jelek-jelek
begini rumahnya, setiap ke Batam, Bapak (Uskup, Red) selalu singgah di
sini,” ujarnya.
Gembala mengunjungi umatnya (HIDUP/Ag Suprimanto) |
“Ya, biasanya saya sendiri, seperti
ini. Simpel, cukup bawa ransel dan satu koper,” ujar Mgr Hila.
Speedboat meninggalkan Batam. Tak sampai sepuluh menit menempuh
perjalanan, gelombang mengguncang hebat. Tetapi kepada saya yang sedikit cemas,
Mgr Hila mengatakan, “Ah, ini belum seberapa, Mas.” Benar juga, tak perlu ada
yang dicemaskan: sekitar 1,5 jam kami sampai. Seorang calon imam yang telah
menerima tahbisan diakonat yang ditugaskan di Ujungbeting, Diakon Stelo, dan
pegawai pastoran Paroki Hati Maria Tak Bernoda Tanjungpinang telah menunggu. Di
paroki ini kami harus kembali bermalam, karena speedboat menuju
Ujungbeting baru tersedia esok hari.
Saat makan siang, Mgr Hilarius
dengan para pastor saling bercerita dan bercanda bersama, hangat seperti bapak
dan anak-anaknya. Lalu Mgr Hilarius menonton televisi. Atas permintaan Mgr
Hilarius, seorang pegawai pastoran meneteskan cairan ke mata Bapa Uskup. “Ya,
awal bulan Desember ini saya operasi katarak,” katanya.
Sementara saya berbincang dengan
Romo Agustinus Tarnanu. Ia bercerita tentang tantangan alam berpastoral di
Ujungbeting. Diceritakannya, ia pernah satu kapal dengan Mgr Hilarius dan kapal
itu terbakar. Mgr Hilarius yang jago renang pun turut menjadi relawan
penyelamat. “Bulan Desember, biasanya angin kencang, ombak besar,” ceritanya.
Selain ombak, malaria menjadi momok
di Ujungbeting. Untuk mengurangi risiko terjangkit, obat anti malaria tidak
boleh dilupakan saat kunjungan pastoral ke pulau ini. Diakon Stelo, di
Tanjungpinang, selain untuk menjemput Uskup, juga berbelanja untuk berbagai
keperluan di Ujungbeting, termasuk bahan makanan.
Mengarungi Ombak
Pompong: Moda transportasi Ujungbeting (HIDUP/Ag Suprimanto) |
Speedboat berkapasitas 90-an orang, dan untuk mencapai Ujungbeting
perlu sekitar tiga jam. Belum sampai laut lepas, ombak terasa garang. Dan,
ketika di laut lepas, seorang perempuan meneteskan air mata, dan lari ke bagian
tengah speedboat. Ombak menghantam orang-orang berteriak. Kanan-kiri
perahu tampak ombak seperti tebing.
Untuk membunuh rasa jenuh dan cemas,
orang bercakap-cakap. Diakon Stelo dengan entengnya berkata, “Ah, ini
tidak seberapa, Mas”. Sementara Mgr Hilarius tampak santai melipat
tangan di dada.
Rasa lega itu baru datang, ketika
Diakon Stelo mengatakan, “Nah, ini sudah masuk gerbang Lingga”. Ombak sedikit
lebih tenang, hingga akhirnya tidak menakutkan lagi ketika kami merapat di
Pulau Pancur, dermaga speedoat paling akhir. Namun, keterkejutan kembali
menghampiri saya, ketika tahu masih 1,5 jam lagi untuk sampai Ujungbeting,
dengan menggunakan pompong (perahu mesin kecil).
Mgr Hilarius duduk tenang di samping
tekong (nahkoda). Mencoba mengalahkan ketakutan, saya bersama Diakon
Stelo duduk di ujung depan pompong. “Ikuti saja alurnya,” kata Diakon
Stelo. Sepelemparan batu jelang Ujungbeting, tampak anak-anak melambaikan
tangannya, menyambut gembalanya. Ketika kami menginjakkan kaki di tanah
Ujungbeting, umat yang kebanyakan tinggal di rumah apung keluar rumah,
menyambut dengan riang.
Pastoran berdiri sekitar 200 meter
dari pantai. Kami menyusuri plantar (papan kayu) dan menyusupi
alangalang, kami menuju tempat kami bakal menginap itu. Begitu sampai di
pastoran, Diakon Stelo langsung mengeluarkan obat anti malaria yang harus
diminum setiap tiga jam. Begitu juga lotion anti nyamuk yang setiap kali
harus dioleskan ke tubuh untuk menghindari gigitan nyamuk. Agar tidak lupa,
segepok obat dan lotion anti nyamuk selalu kami masukkan di saku celana.
Selasa sore, 24/12, menjelang malam
Natal beberapa pompong dari pulau lain mulai bersandar di Ujungbeting
yang hanya dialiri listrik dari genset selama pukul 18.30 hingga 22.30. Tak
sedikit di antara mereka turun dari pompong dalam kondisi celana basah,
setelah berjibaku mengikuti irama ombak.
Mgr Hilarius meminta untuk menunda
sejenak misa malam Natal, karena menunggu umat dari Pulau Senayang. Misa yang
rencananya dimulai pukul 19.00 ditunda. Sekitar 15 menit menunggu, seorang umat
mengabarkan lewat SMS bahwa umat Senayang tidak bisa datang, karena
angin kencang. Maka, Misa Malam Natal di Ujungbeting pun tanpa dihadiri umat
dari Stasi Senayang.
Rabu, 25/12, menjelang Natal Pagi,
hujan lebat dan angin kencang. Syukur, saat Misa Natal dan pesta setelahnya,
hujan reda. Namun, umat Senayang tidak juga nampak hadir. Maka, Mgr Hilarius
memutuskan untuk menyeberang ke Senayang menemui umat. Meski dicegah umat,
karena angin kencang, Mgr Hilarius memutuskan untuk tetap pergi. “Tidak, kita
harus ke sana. Kita harus omong-omong. Mereka harus bangun gereja mereka
yang mulai rusak,” katanya.
Akhirnya dengan pompong, kami
menyeberang ke Senayang. Dan, pada malam harinya, umat pun dapat mengikuti Misa
Natal di kapelnya yang sudah rusak. Atap bocor dan kursi yang telah reot adalah
kenyataan “kesederhanaan” Natal mereka.
Dalam bincang-bincang, Mgr Hilarius
tampak serius mendengarkan umatnya. Gembala penerus para Rasul ini pun memberi
asa, Natal tahun depan sudah berdiri kapel yang lebih layak.
Ag. Suprimanto
sumber: hidupkatolik.com