RITA LISA: BERHARAP PADA KEKUATAN DOA

 
Kasih ibu dan keluarga sungguh luar biasa. (hidupkatolik.com)

AGSUPRIMANTO.COM - Hampir tiga bulan Rita Lisa dan suaminya, Chandra Wijaya menunggu putri mereka yang dirawat di rumah sakit di Jakarta. Lelah fisik dan pikiran tak mereka hiraukan, demi kesembuhan putrinya.

Lydia Levina Chandra (23), putri sulung pasangan Rita Lisa dan Chandra Wijaya, ditemukan tak sadarkan diri dalam kamar kosnya di Jakarta, Jumat, 19/7 (2013). Saat itu, Rita berada di Langgur, Maluku Tenggara. Kerusuhan Ambon (1999) membawa Rita dan suaminya berpindah tempat tinggal, hingga menetap di Langgur sejak 2010.

Rita mendengar kondisi Lydia dari adik iparnya, Surya Wijaya yang tinggal di Jakarta. Tatkala mendengar Lydia pingsan, tak terbesit dalam pikiran Rita untuk bergegas mencari tiket ke Jakarta. “Saya cari Pastor dan memintanya berdoa. Saya tak punya pikiran bahwa Lydia akan meninggal. Saya yakin kalau Tuhan mau ambil, Tuhan tidak akan menunggu saya. Tapi kalau Tuhan menunggu saya, Lydia akan diberi kesembuhan,” kisahnya pada HIDUP saat ditemui di RS Mitra Kemayoran, Jakarta Pusat, Kamis, 19/9. Di sinilah Lydia dirawat, setelah menjalani perawatan sebelumnya di RS Royal Taruma, Jakarta Barat, selama 41 hari.

Bersatu dalam Sakit
Sehari berselang, 20/7, Rita pun berangkat ke Jakarta. Sang suami menyusulnya seminggu kemudian. “Karena dia harus buka kios di Langgur. Kalau tidak buka, bagaimana dengan keuangan kami?” kisahnya.

Setibanya di Jakarta, kronologi tragedi yang menimpa Lydia pun diketahui Rita. Pada Selasa, 16/7 (2013), Lydia menitipkan kue pada penjaga kos untuk dimasukkan dalam kulkas. Kue itu akan dibawa ke acara komunitas Lydia di Bandung esok harinya. Hari yang sama, alumni SMA Stella Maris Surabaya, Jawa Timur ini, juga memesan sayur pada penjaga kos untuk makan malam.

Setelah itu, seolah Lydia menghilang. Pada Jumat, 19/7 (2013), penjaga kos mengirim SMS padanya, tapi tak ada jawaban. Penjaga kos mengira Lydia pergi tanpa pamit. Padahal mahasiswi Fakultas Kedokteran Umum UKRIDA, Jakarta Barat ini seharusnya mengikuti yudisium. Pada hari itu, kampusnya menggelar penetapan nilai dalam transkrip akademik yang memutuskan lulus atau tidaknya mahasiswa dalam menempuh studinya.

Penjaga kos pun merasa curiga. Ia memanggil Ibu RT, satpam, dan polisi untuk membuka kamar Lydia secara paksa. Lydia ditemukan tergeletak tak sadarkan diri di lantai dan segera dibawa ke RS Royal Taruma.

Sekitar pukul 16.00 WIB, Surya Wijaya, paman Lydia, dihubungi dan langsung meluncur ke rumah sakit. Sang paman mengira Lydia hanya pingsan biasa, sehingga tak ada kepanikan yang menghampirinya. Orangtua Lydia pun segera dikabari oleh sang paman.

Dokter yang memeriksanya mengatakan, Lydia mengalami kerusakan syaraf dan merembet pada kerusakan otak. Dokter forensik juga memeriksanya dan menjelaskan, ia tidak diperkosa, tidak minum obat tidur, dan pemeriksaan darahnya juga bersih. Namun di punggung Lydia seperti terkena benda tumpul panas, bertanda seperti huruf C. Menurut dokter, mungkin inilah penyebab sakitnya.

Sejak 19 Juli hingga 28 Agustus, Lydia dirawat di RS Royal Taruma. Dengan setia, Rita dan suaminya menemani putri mereka yang terbaring tak berdaya. Dokter yang merawat mengaku, baru kali ini menemukan kasus penyakit yang menimpa Lydia. Di penghujung Agustus, dokter meminta Rita untuk membawa pulang Lydia. Namun Rita dan suaminya tak menginginkan hal itu, karena Lydia masih perlu perawatan intensif. Kemudian mereka memindahkan Lydia ke RS Mitra Kemayoran, Jakarta Pusat.

Ada kelegaan memulasi hati Rita. Setelah empat hari di RS Mitra Kemayoran, Lydia menunjukkan kemajuan. “Mungkin karena suasana yang baru juga, Lydia makin membaik. Lydia sebenarnya bisa mendengar apa yang kita bicarakan. Sesekali dia menjerit dan juga menangis,” tutur ibu tiga anak ini. Melihat kondisi Lydia, Rita tak patah arang. “Hanya saya ikut sakit melihat anak ini sakit,” imbuh perempuan kelahiran Larat, Maluku, 28 Juni 1958 ini.

Dalam musibah yang menimpa Lydia, Rita merasa Tuhan memelihara putri sulungnya ini. “Bayangkan saja, sudah tiga hari lho Lydia pingsan. Kalau tidak dipelihara Tuhan, ini tidak mungkin,” tandasnya penuh keyakinan.

Keyakinan Rita itu bukanlah proses semudah membalik telapak tangan. Sebelumnya, ia dihantui litani pertanyaan dalam benaknya. “Tuhan, mengapa ini terjadi saat Lydia sudah mau selesai pendidikannya?Mengapa Tuhan mengizinkan ini dialaminya? Sementara kami punya keuangan sangat minim. Mengapa Tuhan tidak menghindarkannya?” Setelah berkubang dalam rasa tidak terima, akhirnya Rita pun pasrah, menyerahkan gundah gulananya pada Sang Khalik.

Banjir Dukungan
Tiap hari, pagi hingga sore, Rita menemani Lydia di rumah sakit, meski tak menginap. “Sudah 13 tahun saya tak bisa pakai AC. Setiap masuk ruangan ber- AC saya selalu minum obat terlebih dahulu. Bapaknya itu yang sejak tiba di Jakarta berada di rumah sakit terus. Mandi ya di sini,” kisahnya.

Menurut Rita, sesekali sang suami pergi ke luar rumah sakit. Ia akan berhenti di bawah pohon di depan rumah sakit dan mulai merokok. “Dulu dia tak pernah merokok; mulai di sini dia merokok. Bapaknya stres berat, karena tiap hari melihat Lydia. Dialah yang paling dekat dengan Lydia,” ungkap Rita.

Sementara Ria, anak bungsu Rita yang baru selesai mengikuti Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus (OSPEK) di salah satu perguruan tinggi Surabaya, memutuskan pulang ke Langgur. “Dia bilang ‘Mama aku pulang ke Langgur buat buka kiosnya Bapak. Karena kalau tidak ada pemasukan sama sekali nanti bagaimana? Tahun depan saja aku kuliah kalau cece (kakak perempuan -Red) sudah baikan’,” beber Rita sambil mencoba tersenyum, menutupi kepedihannya. Keputusan si bungsu membuat Rita terharu. Itu menjadi salah satu bentuk dukungan sang adik pada kakaknya.

Biaya untuk pengobatan Lydia tak sedikit. Sekitar Rp 400 juta sudah dikeluarkan Rita dan suaminya. Mereka bersyukur, dukungan mengalir bagi mereka dan Lydia. Saudara dan para donatur membantu biaya rumah sakit yang mereka tanggung. Rita berterima kasih atas bantuan dan dukungan itu. “Ini sangat membantu.”

Andalkan Doa
Rita berkisah,dokter sudah angkat tangan. Dokter spesialis syaraf yang menangani buah hatinya sudah menyerahkan ke fisioterapi. “Hanya Tuhan yang jadi harapan. Dokter ahli syaraf sudah tak bisa bantu, tak bisa memberi obat. Ia berpesan supaya dokter terapi yang mengupayakan,”ujar umat Paroki Katedral Langgur ini.

Lydia pun menjalani terapi seperti yang disarankan dokter. Salah satunya, terapi lidah. “Lidah Lydia sudah pendek. Dia terapi lidah biar bisa menelan.”

Selain itu, demi kesembuhan si sulung, Rita dan sang suami tak henti mendaraskan doa. “Saya mohon kekuatan dengan doa agar otaknya disembuhkan, terus menerus,” ujar Rita penuh harap. Doa Rosario Pembebasan dan devosi pada Bunda Hati Kudus menjadi pegangan mereka. Beberapa suster, pastor, pendeta, dan umat datang dan mendoakan Lydia.

Bagi Rita, kekuatan doalah yang menjadi harapannya. “Saya minta tolong pada semua, bantu dengan doa untuk kesembuhan Lydia. Hanya doa yang menjadi harapan kami. Kehadiran orang-orang untuk datang dan berdoa merupakan semangat bagi kami,” tandas Rita yang terus bersyukur karena Lydia sudah keluar rumah sakit sejak 25 September 2013 dan kini dalam masa pemulihan.

Ag. Suprimanto
sumber: hidupkatolik.com
editor: Maria Pertiwi 

Kini kejadian ini sudah berlangsung selama hampir satu tahun (sekitar 11 bulan).

Beberapa waktu lalu, Sabtu (16/8-2014), penulis dihubungi keluarga via telepon. "Mas, terima kasih, Puji Tuhan Lidya sudah mulai ada perkembangan. Sudah mulai bisa memberi respon. Mohon bantuan disebarkan informasi agar semua ikut membantu doa demi kesembuhan Lidya.", ungkap Rita (Mama Lidya) dengan logat Malukunya.

Sontak kegembiraan pun muncul pada diri penulis. Sebagai penulis, juga turut bahagia atas kabar dan perkembangan yang baik ini. Seraya berharap "semoga Tuhan lekas memberi kesembuhan dan hiburan bagi Lidya sekeluarga", ungkap dalam hati.

"Ini sekarang Lidya tidak kami bawa pulang ke Langgur, karena alasan pengobatan yang sulit di sana. Ini masih di tempat awal, apartemen yang disewakan pamannya di Kemayoran", pungkas Rita, "Tapi saya mohon bantuan juga ya Mas, doa supaya keluarga diberi kekuatan dan dimampukan entah dari tangan-tangan siapa pun untuk menanggung segala beban biaya yang harus dikeluarkan, karena memang membutuhkan banyak sekali biaya. Terima kasih Mas".